Sabtu, 10 Oktober 2009

Lokasi: Bar

Musik berdentam, menggetarkan gelas yang kupegang. Dum dum dum dum, dum, bass menghantam gendang telingaku. Hiiih, aku paling benci sistem suara di klub-klub seperti ini. Mereka cenderung menaikkan volume hingga ke tingkat dimana hanya bass yang bisa didengar.
“DJ baru?” teriakku ke Dave, bartender Bar Midnight Star ini.
What?” teriaknya balik. Kuulangi pertanyaanku. Dave mengangguk.
“Bisakah kau minta volumenya diturunkan sedikit?” teriakku lagi. Dave menyeringai. “Nope!” bibirnya bergerak, “new sound system. Bos ingin mencoba keluarannya!”
Aku menggelengkan kepala. The Grim Joe, Joe si Murung pemilik bar ini, memang suka mencoba hal yang aneh-aneh. Dave hanya tertawa kecil melihat ekspresi di wajahku.

The usual?” tanya Dave.
Aku mengangguk. Yang biasa. Untuk banyak orang hal ini mengacu ke berbagai campuran minuman berakohol, tapi kalau untukku, minuman berkarbonasi, dengan dua es batu dan hiasan jeruk. Aku tidak pernah mau menyentuh alkohol. Selain memang tidak bolehkan, tapi juga karena pikiran sehatku menolak memasukkan bahan merusak ini ke tubuh.
Pencangkokan NPS memang membawa perubahan ke gaya hidup inangnya. Kami harus berolahraga teratur untuk menjaga stamina, makan porsi lebih besar, karena NPS memerlukan nutrisi, dan harus menghindari segala macam zat yang bisa menurunkan kesadaran. Untuk dapat bersinkronisasi, dibutuhkan kesadaran, dan alkohol, dan juga berbagai narkotik, menurunkan kesadaran. Menggunakan NPS saat kesadaran berkurang bisa sangat berbahaya. Ada beberapa kasus, dimana NPS lepas kontrol. Satu pengguna NPS meninggal, dua tangannya harus diamputasi. Beberapa lainnya dikeluarkan secara tidak hormat.
Dave menaruh satu gelas berisi minuman ringan dengan senyum penuh arti. Aku mengangkat satu alis. “Gratis, dari nona di pojok.”
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Dave. Duduk di...(bersambung)

Post baru!

Hehehehe... maaf lama tidak update.... Kesibukan, pulang kampung, ditambah kebuntuan membuat saya lama tidak memposting tulisan baru.... Hehehehe.... Tidak perlu berlama-lama, silakan membaca...

Selasa, 29 September 2009

Buntu!!!

Omigod... buntu!!!! Aduh.... mau nulis apa lagi yah.... ayo-ayo... yang punya ide banyak, sini-sini, sumbang ke saya hahahaha.... Hmm, bingung juga nih, hendak dibatasi sejauh apa detil gory stuff yang mau saya masukkan hehehehe.... ntar daripada kena sensor kan, mending saya sensor aja dulu! Sorry guys, belom ada update lagi... sabar yak... (as if ada yg ngikutin aja!) hahaha....

Kamis, 03 September 2009

1st draft: Opening (part 4)

“Alex, sudah cukup kau bermain mak comblang!” kataku.

Alex membuat ekspresi terluka, yeah, ri-ight. “Hei! Bukan salahku teman dekatku sampai saat ini masih belum punya pacar!” katanya kejam.

Aku memutar mataku. “Dan bukan salahmu kalau sahabat baikmu sedang tidak ingin berkencan,” jawabku.

Oh, come on! John, jangan dingin begitu! Let me help you!” rengek Alex kekanakan.

“Alex, dengar! Aku. Sedang, Tidak. Ingin. Berkencan. Titik,” kataku tegas.

Bibir Alex manyun, “Aku tidak hanya membantumu, tahu! Aku juga membantu nona asisten manis! Dua pahala dalam satu langkah!”

Aku menggelengkan kepalaku. “Terserah kau sajalah!”

Alex tersenyum lebar. “Is it a yes?” tanyanya cerah.

Aku menggeram. “No!

Okay!” kata Alex, senyum kecil bermain di bibirnya. Sepertinya aku harus menghindari Alex dan ruang pemeriksaan untuk beberapa minggu ini. Damn, its hard.

Kami mendapat istirahat tiga hari setelah misi ini. Aku dan Alex membuat janji bertemu di restoran Italia yang baru di buka minggu lalu. Hm, akan kupesan yang mahal-mahal, pikirku nakal. Pembalasan terhadap rencana perjodohan Alex. Like a plan to me. Evil? Who, me?

Draft pertama: SELESAI.

Selasa, 25 Agustus 2009

1st draft: Opening (part 3)

Aku menoleh kearahnya, tersenyum. “Tidak apa-apa, Alex. Aku tidak terluka.”

Alex menggeleng, “seharusnya kucari titik lain yang memberiku sudut pandang lebih luas.”

Aku tersenyum lagi, “Alex, gudang ini merupakan gedung paling tinggi di daerah ini. Di kelilingi pepohonan, tentu kau sulit menemukan titik yang sempurna. Posisimu itu sudah yang terbaik.”

“Tetap saja… kau bisa terluka!” kata Alex berkeras.

Aku menghela nafas. Dasar Alex. “Alex, aku percaya dengan kemampuan snipping-mu. Aku tidak apa-apa, jadi jangan salahkan dirimu, ok?”

Alex menatapku dengan sungguh-sungguh. “Kau tidak marah?” tanyanya.

“Marah? Tentu saja!” kataku usil.

Wajah Alex mengeruh. Aku tertawa, “marahku akan hilang kalau kau traktir aku di restoran yang baru di buka minggu lalu di blok 15.”

Wajah Alex berubah cerah. “Deal!” katanya sambil mengulurkan tangannya. Aku meraih tangannya, kami bersalaman. Kemudian kami tertawa bersama. Persahabatan memang indah.

Kami masih tertawa saat Leon, Larry dan yang lain menghampiri kami di depan pintu gudang. “Nice timing!” puji Larry.

Aku tersenyum, “Lucky, I guest.

“Ya, kau memang benar-benar di lindungi dewi keberuntungan malam ini!” kata Hanataro. Senyumku bertambah lebar.

Damn boy, saat kulihat roket itu meluncur kearahmu, dan kulihat kau tidak akan sempat menghindar, kukira kau tamat!” kata Leon sambil meninju lenganku main-main.

Yeah, me too,” kataku.

Kami menuju markas. Di markas, Kapten dan yang lain langsung menuju rumah masing-masing setelah pemeriksaan kesehatan. Alex menungguku. Memang pemeriksaanku paling lama, karena mereka harus mencek NPS milikku. Saat aku keluar, salah satu asisten melempar senyum kearahku. Alex memandang kami penuh arti, senyum kecil bermain di bibirnya. Aku menghela nafas. Damn, Alex pasti akan bermain mak comblang lagi.

So, looks like miss nice assistant interested in you,” kata Alex membuka pembicaraan. Aku menghela nafas, betul kan?

“Alex, sudah cukup kau bermain mak comblang!” kataku.

Alex membuat ekspresi terluka... (bersambung)

1st draft: Opening (part 2)

Granat membuat kurva, lalu menghilang ke dalam gudang. “Fire in hole!” teriakku di radio. Serentak kami semua menutup telinga dan berlindung. Terdengar ledakan dan sinar putih terang disertai teriakan musuh. Kami berlari masuk, senapan siaga. Granat kejut tidak untuk menghancurkan, tapi untuk mengacaukan orientasi. Dalam jarak kurang dari tiga meter bisa membuat pingsan.

Dalam sekejap kami menghambur masuk, kecuali Alex, karena posisinya sebagai penembak jitu. Tiga orang pingsan, dua orang berlutut di tanah, tangan memegang telinga dengan wajah kesakitan. Ledakan granat kejut bisa melukai pendengaran. Kami berpencar, mata siaga ke semua arah di dalam gedung. Terdengar satu suara tembakan dan tubuh jatuh menghantam tanah. Kemudian tembakan lagi. Dan suara tubuh menghantam atap.

“Dua jatuh,” kata Alex tenang di alat komunikasi.

Aku tidak mengalihkan pandanganku dari bagian gudang yang kuawasi. Kemudian kulihat bayangan bergerak di kanan depanku. Tampak sesosok tangan melempar sesuatu. Mataku memandang granat yang bergerak turun.

DOWN!” teriakku. Refleks kubuka A.T. Field-ku. Granat itu menghantam A.T. Field, kemudian sama seperti roket, merubah arah geraknya. Granat meledak satu meter di depanku. Aku terhuyung karena gelombang kejut ledakannya. Terdengar suara tembakan dari belakangku. Kemudian terdengar erangan, dan seseorang jatuh. Kotak-kotak kayu yang menjadi tempat perlindungan musuh tidak mampu berbuat banyak di hadapan peluru titanium.

Kurasakan seseorang menahan tubuhku dari belakang. “Kau tak apa-apa?” tanya Leon.

Yeah,thanks,” jawabku.

Kami berhasil menguasai gudang ini. Lima musuh tewas, tiga pingsan, dua terluka. Kapten memanggil bantuan, tugas kami hanya untuk melumpuhkan saja. Penangkapan dan lain-lain tidak menjadi tugas kami.

Aku duduk di satu kotak kayu di sudut. Unit medis sudah datang, memberikan minuman hangat kepada setiap orang. Kuhirup kopiku sambil memandang kesibukan yang berlangsung. Kapten terlihat sedang berbicara dengan salah satu petinggi yang aku tidak tahu namanya. Aku termasuk anggota unit khusus, jadi aku tidak terlalu berhubungan dengan politik militer.

Tiga orang yang pingsan terlihat ditandu masuk ke mobil tahanan, dua yang terluka terborgol di tandu lain. Mayat lima sisanya masuk ke mobil jenazah. Rupanya mereka sudah menurunkan tiga mayat yang berada di atap.

Alex duduk di sampingku. “John, I’m so sorry! Aku tidak melihat si pembawa bazooka! Pandanganku terhalang cerobong asap!” katanya sungguh-sungguh.

Aku menoleh kearahnya,.....(bersambung)

1st grumbling

Yay! Akhirnya, setelah beberapa lama berdebat dengan diri sendiri, akhirnya saya nekat publikasikan draft-draft saya di internet. Ow... kira-kira bagaimana yah, tanggapan orang-orang? Hehehe... semoga tanggapannya baik...

Duh, baru dapat sedikit nih... Semangat!!!



nb: eh, eh, buat yang hendak kirim ide untuk cerita selanjutnya, boleh kok dikirim ke saya hehehehe....


Hormat saya,

Panji

1st draft: Opening (part 1)

Tatatatatataa…. Senapan otomatis menyalak. Kutundukkan kepalaku sembari berlari ke arah tumpukan besi tua yang mengelilingi bangunan ini. Jantungku berdetak kencang, mengalirkan darah lebih cepat, mengedarkan adrenalin ke seluruh tubuh. Telingaku masih berdenging karena suara senapan dari jarak dekat tanpa pelindung telinga.

Kami menembak balik. Hanataro mengenai satu. Saat itulah, aku mendongak, dan kulihat seseorang mengincarku dari atap gudang. Ia mengacungkan bazooka, membidik. Shit. Kuarahkan senapanku, dan kutekan jariku. Peluru berhamburan, menembus tubuhnya. Tapi sebelum jatuh ia sempat menekan pelatuk bazookanya.

Dunia seakan melambat, semuanya berubah menjadi sejernih kristal. Bisa kulihat ledakan kecil dan asap yang menyertai peluncuran roket, bagaimana peluncur bazooka tersentak ke atas akibat gaya tolak, dan bagaimana roket meluncur ke arahku. Tidak ada waktu lagi, aku melompat ke samping, tangan kiriku terangkat ke atas, seperti saat kau menahan pukulan dengan tanganmu. Shield! Pikirku. Dan A.T. Field terbuka di hadapanku, seperti gelombang air yang membesar dari satu titik kecil di pusat tetesan air. A.T. Field-ku berukuran sekitar dua setengah meter panjang, satu meter lebar, hampir transparan.

Roket menyentuh A.T. Field-ku tidak dengan ujungnya, tapi ujung sampingnya. A.T. Field-ku mendispersikan semua objek yang menyentuhnya, gayanya membelokkan arah gerak roket menyamping. Roket meledak saat menyentuh tanah, dapat kurasakan panasnya ledakan, tapi aku aman di belakang A.T. Field. Tubuhku terpental ke belakang beberapa meter akibat gaya tolak roket dan karena gelombang kejut ledakan. Reflek tangan kananku terjulur ke belakang, kepalaku kutekuk ke dada. Tubuhku menghantam tanah, untuk sekejap pandanganku gelap, namun aku tidak pingsan.

“JOHN!” terdengar beberapa orang berteriak.
“JOHN!! ARE YOU OK?!?” Kapten berteriak melalui alat komunikasi di telingaku. Aku tidak menjawab, adrenalin masih kental di darahku. Untuk sesaat aku tidak bisa berpikir, hanya memandang tempat roket menghantam tanah, membuat lubang kawah kecil yang berasap.

“JOHN! ANSWER, DAMN IT!!” kali ini terdengar Alex berteriak di alat komunikasiku.

Nafasku memburu. Kemudian kenyataan menghantam, aku masih hidup. “I’m ok, I’m ok!” kataku cepat, entah kepada teman satu timku atau kepada diriku sendiri.
Terdengar teriakan gemas Alex, gemas dan lega.

“Cepat berlindung!” teriak Kapten. Kubalikkan badanku, berlari menuju tumpukan besi di kananku. Dadadadadaa…. Terdengar suara peluru menghantam tanah di dekatku. Kutundukkan tubuhku. Aku berpaling, memandang ke arah kiri. Larry mengangguk. Tanganku meraih granat kejut. Larry berdiri dan menembak ke arah musuh, memaksa mereka berlindung. Tembakan perlindungan. Arah tembakan berasal dari mulut gudang tua, kuperkirakan sekitar 15 meter. Sembari ketegakkan badanku, kuputar bagian atas granat kejut, lalu kulempar sekuat tenaga. Di sampingku, Leon terus menembak, membantu Larry membuat tembakan perlindungan.

Granat membuat kurva, lalu.... (bersambung)

About Author

Hi, everyone! Thanks for coming to my blog. As its name, this blog serve as my "publication page" for my novel drafts. I hope you enjoy reading it, although maybe its not very good and/or original.

My name is Panji. I'm a 22 years old. Currently I live in Jakarta, Indonesia. This blog is my dream, through this blog, I try not to throw any dream left from my life.

So, no more time consuming garbage, please enjoy...




Your sincerely,


Panji